Namun, Ramadan tahun ini berbeda. Suatu malam, ketika sedang duduk di warung kopi, Kemod melihat seorang kiai sepuh turun dari bus dengan wajah letih. Tak ada yang membantu, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Entah mengapa, hatinya tergerak. Ia pun bangkit dan membantu sang kiai membawa tasnya.
“Terima kasih, Nak,” ucap kiai itu dengan senyum teduh. “Semoga Allah memberkahimu.”
Kata-kata itu menancap di hati Kemod. Sudah lama ia tidak mendengar doa seperti itu, dan entah mengapa, dadanya terasa hangat.
Malam itu, ia pulang ke kontrakan kecilnya dengan gelisah. Ia teringat dosa-dosanya, wajah-wajah orang yang pernah ia sakiti, dan kezaliman yang ia lakukan. Tiba-tiba, tangannya gemetar, air matanya jatuh tanpa ia sadari. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Kemod menangis karena takut kepada Allah.
Besoknya, ia datang ke masjid dekat terminal. Ia duduk di pojokan, mendengarkan ceramah tarawih. Seorang Banser yang berjaga di masjid menatapnya curiga, tapi tak mengusirnya. Setelah shalat, Kemod mendekati Banser itu.
“Aku ingin berubah,” katanya lirih. “Aku ingin ikut menjaga ulama.”
Banser itu terkejut, tapi melihat kesungguhan di mata Kemod, ia tersenyum. “Kalau begitu, ayo ikut saya.”
Hari demi hari, Kemod belajar agama. Ia mulai puasa, shalat lima waktu, bahkan ikut membantu keamanan pengajian-pengajian di kampung. Masyarakat yang dulu takut padanya kini menghormatinya.
Beberapa bulan kemudian, ia resmi menjadi anggota Banser NU. Kini, tubuhnya yang dulu digunakan untuk menindas justru menjadi pelindung bagi para kiai dan santri. Tatapan garangnya kini penuh wibawa, bukan ancaman.
Suatu malam, di tengah ronda menjaga pengajian, seorang pemuda yang dulu anak buahnya mendekat. “Bang, gue pengen berubah kayak abang.”
Kemod tersenyum, menepuk pundak pemuda itu. “Kalau gue bisa, lo juga bisa. Ayo, ikut gue.”
Dan di bawah langit Ramadan yang suci, perjalanan seorang preman yang kembali ke jalan Allah pun berlanjut.
Posting Komentar