Bab 1: Benih Cinta yang Tumbuh
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan pepohonan rindang, hiduplah seorang pemuda bernama Ibnu Umar. Ia seorang anak yatim yang hidup dalam kesederhanaan bersama ibunya, seorang penjual kue di pasar. Meski hidup dalam keterbatasan, Ibnu Umar tumbuh menjadi pemuda yang rajin dan rendah hati.
Sejak kecil, hatinya telah tertambat pada seorang gadis bernama Fatimah, putri seorang saudagar kaya di desa itu. Fatimah adalah gadis yang lembut dan bersahaja, tetapi takdir mempermainkan mereka. Ibnu Umar hanya bisa mengaguminya dari jauh, menyadari batas yang memisahkan mereka.
Namun, takdir memberi kesempatan ketika Fatimah sering datang ke pasar untuk membantu ibunya berbelanja. Setiap kali melihatnya, Ibnu Umar merasa dunia seakan berhenti berputar. Ia selalu menyempatkan diri untuk membantu membawakan barang belanjaan Fatimah.
"Terima kasih, Ibnu," kata Fatimah suatu hari dengan senyum manisnya.
"Sama-sama, Fatimah," jawabnya, berusaha menyembunyikan debar di dadanya.
Waktu berlalu, dan perasaan Ibnu Umar semakin dalam. Namun, ia sadar, perasaan itu hanyalah mimpi bagi seorang pemuda miskin sepertinya.
Bab 2: Lamaran yang Ditolak
Suatu hari, dengan penuh keberanian, Ibnu Umar mengutarakan niatnya kepada ibunya.
"Ibu, aku ingin melamar Fatimah," katanya dengan suara mantap.
Ibunya terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Nak, kau sadar siapa Fatimah? Dia putri saudagar kaya. Apa kau yakin keluarganya akan menerimamu?"
"Tapi aku akan membahagiakannya, Bu," sahutnya penuh harap.
Dengan niat tulus, Ibnu Umar mendatangi rumah Fatimah bersama ibunya. Mereka diterima dengan ramah, tetapi saat Ibnu Umar menyampaikan niatnya, ayah Fatimah tersenyum tipis dan berkata, "Ibnu, kau pemuda baik, tetapi kau tak memiliki apa-apa. Fatimah sudah kami jodohkan dengan putra saudagar dari negeri jiran. Maafkan kami."
Hati Ibnu Umar remuk seketika. Fatimah menundukkan kepala, tak mampu berkata apa-apa.
Bab 3: Pernikahan Fatimah dan Kehancuran Hati
Hari pernikahan Fatimah dengan Jinan tiba. Desa dipenuhi lampu-lampu indah, tenda besar, dan makanan melimpah. Ibnu Umar hanya bisa melihat dari kejauhan, menyaksikan wanita yang dicintainya bersanding dengan pria lain.
Sejak hari itu, Ibnu Umar berubah. Ia menjadi pendiam dan kehilangan semangat hidup. Ia tak lagi bersemangat membantu ibunya di pasar. Hari-harinya terasa hampa.
Waktu berlalu, dan kabar tentang kebahagiaan Fatimah bersama Jinan terus terdengar. Mereka tinggal di negeri jiran, hidup dalam kemewahan. Ibnu Umar hanya bisa menahan luka di hatinya.
Bab 4: Pernikahan Tanpa Cinta
Melihat kondisi Ibnu Umar yang semakin terpuruk, ibunya dan para tetua desa berusaha mencarikan jodoh untuknya. Akhirnya, mereka menjodohkannya dengan Farah, putri seorang kiai terpandang.
"Ibnu, Farah adalah wanita shalihah. Dia akan menjadi istri yang baik untukmu," kata ibunya.
Tanpa banyak pilihan, Ibnu Umar menerima perjodohan itu. Pernikahan berlangsung sederhana, tetapi di dalam hatinya, masih ada bayangan Fatimah.
Farah adalah istri yang baik, penuh kelembutan dan kesabaran. Namun, meski telah menikah, Ibnu Umar belum bisa melupakan Fatimah. Hatinya tetap tertambat pada wanita yang tak bisa dimilikinya.
Bab 5: Menanti yang Tak Pasti
Tahun-tahun berlalu, tetapi hati Ibnu Umar tak berubah. Ia menjalani kehidupan rumah tangga dengan Farah, tetapi cintanya masih untuk Fatimah.
Suatu hari, ia mendengar kabar bahwa Jinan, suami Fatimah, mengalami kesulitan bisnis. Bisnis yang dulu gemilang kini merosot tajam.
"Apakah ini pertanda?" batin Ibnu Umar.
Namun, ia hanya bisa menunggu. Dalam setiap doanya, ia berharap takdir akan membawanya kembali pada Fatimah.
Kini, di usia yang semakin menua, Ibnu Umar masih menanti. Ia tahu bahwa penantiannya mungkin sia-sia, tetapi hatinya tetap teguh.
Mungkin suatu hari, Fatimah akan kembali—sebagai janda yang siap menerima cintanya yang tak pernah padam.
Disklaimer: Cerita, Tokoh dan Latar semuanya fiktif belaka.
Posting Komentar