BAB 1: AWAL DI PESANTREN HAYATULFATA
Farhan melangkahkan kakinya ke gerbang Pesantren Hayatulfata dengan hati penuh tekad. Tas ranselnya yang mulai lusuh menempel erat di punggung, membawa beberapa potong pakaian, kitab kuning, dan harapan besar dari ibunya. Ia bukan berasal dari keluarga kaya. Sejak ayahnya meninggal, ia hanya hidup bersama ibu dan dua adik perempuannya, Farah dan Fety."Ibu yakin, pesantren ini akan membentuk kamu jadi orang hebat, Nak," pesan ibunya sebelum ia berangkat.
Farhan menoleh ke arah ibu yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Wajahnya yang penuh keriput tampak tersenyum, meski sorot matanya menyimpan kesedihan. Dengan berat hati, ia melangkah masuk, meninggalkan kehidupan desa yang penuh kesederhanaan.
Di dalam lingkungan pesantren, suasana begitu khas. Lantunan ayat suci terdengar dari asrama, santri-santri dengan sarung dan peci lalu lalang sambil membawa kitab. Di sini, semua santri harus patuh pada aturan ketat. Tidak boleh membawa ponsel, harus bangun sebelum subuh, dan wajib mengikuti jadwal mengaji serta belajar kitab dari pagi hingga malam.
Hari pertama, Farhan ditempatkan di kamar asrama yang sederhana. Ia mulai mengenal teman-teman baru, salah satunya Zain, santri asal kota yang cerdas tetapi suka bercanda.
"Kamu dari mana, Han?" tanya Zain sambil menata kopernya yang jauh lebih bagus dibanding tas ransel Farhan.
"Dari desa. Kamu?"
"Aku dari kota. Orangtuaku sengaja memasukkan aku ke sini biar nggak kebanyakan main game," jawabnya sambil tertawa.
Farhan hanya tersenyum. Ia datang ke sini bukan karena dipaksa, tetapi karena ingin menuntut ilmu dan mengubah hidupnya.
PERTEMUAN DENGAN YIYIS
Hari-hari berlalu, Farhan mulai terbiasa dengan kehidupan pesantren. Ia bukan santri paling pintar, tetapi ia selalu berusaha memahami setiap pelajaran dengan tekun. Ia juga mengikuti kursus tambahan yang diadakan pesantren, seperti pelatihan pertanian, bahasa Inggris, dan komputer.
Suatu hari, saat sedang membersihkan halaman masjid, ia melihat sekelompok santri putri berjalan menuju kelas mereka. Salah satu dari mereka menarik perhatiannya. Seorang gadis berwajah lembut, mengenakan jilbab putih bersih, dengan langkah yang anggun.
"Itu Yiyis," bisik Zain yang berdiri di sampingnya.
"Siapa dia?" tanya Farhan penasaran.
"Anak tunggal dari keluarga kaya. Cantik, rajin, dan katanya salah satu santri terbaik di sini."
Farhan hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Ia sadar, dirinya hanyalah anak miskin dari desa, sementara Yiyis berasal dari keluarga terpandang. Namun, entah mengapa, sejak pertemuan pertama itu, ia tidak bisa menghilangkan bayangan Yiyis dari pikirannya.
AWAL PERJUANGAN
Farhan mulai fokus belajar dan berusaha menjadi santri teladan. Ia tahu, jika ingin diperhitungkan, ia harus menunjukkan bahwa dirinya punya nilai lebih. Meski tidak sepintar santri lain, ia selalu kreatif dalam menyelesaikan tugas.
Suatu hari, ia berkesempatan bertemu Yiyis di perpustakaan. Saat itu, ia sedang mencari kitab ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh buku yang diambil oleh Yiyis.
"Oh, maaf," kata Yiyis dengan suara lembut.
"Eh, nggak apa-apa," jawab Farhan gugup.
Mereka hanya bertukar pandang sebentar sebelum Yiyis kembali ke tempat duduknya. Namun, bagi Farhan, momen singkat itu cukup untuk membuatnya semakin termotivasi.
Di balik kehidupannya yang sederhana, Farhan mulai menyimpan perasaan khusus untuk Yiyis. Tapi ia sadar, perjalanan cintanya tidak akan mudah.
BAB 2: KETAHUAN PENGURUS PONDOK
Hari-hari di pesantren terus berjalan, dan tanpa disadari, Farhan semakin sering memperhatikan Yiyis dari kejauhan. Ia bukan tipe yang berani mengungkapkan perasaan secara langsung, tetapi hatinya selalu berdebar setiap kali melihat Yiyis.
Di sisi lain, Yiyis juga mulai menyadari keberadaan Farhan. Ia tahu bahwa santri laki-laki itu bukanlah yang paling menonjol dalam pelajaran, tetapi selalu bekerja keras dan kreatif dalam menyelesaikan tugasnya. Suatu hari, ketika pesantren mengadakan kegiatan gotong royong membersihkan halaman, Yiyis melihat Farhan yang sedang sibuk mengangkat karung sampah sendirian.
“Kenapa sendiri?” tanya Yiyis tiba-tiba.
Farhan terkejut. Ini pertama kalinya Yiyis berbicara dengannya lebih dari sekadar permintaan maaf di perpustakaan.
“Yang lain lagi istirahat, jadi aku selesaikan dulu,” jawab Farhan sambil mengusap keringat di dahinya.
Yiyis tersenyum. “Kamu rajin, ya.”
Farhan hanya menggaruk kepalanya yang masih ditutupi peci. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaan senangnya bercampur dengan kegugupan yang sulit dijelaskan.
Dari pertemuan-pertemuan kecil seperti itulah, hubungan mereka mulai berkembang. Tidak ada kata-kata cinta yang diucapkan, tetapi ada perhatian dan kepedulian yang diam-diam mereka tunjukkan satu sama lain. Namun, di pesantren, perasaan seperti ini adalah hal yang terlarang.
Suatu malam, setelah pengajian selesai, Farhan iseng menuliskan catatan kecil di selembar kertas dan menyelipkannya di dalam kitab yang biasanya dibaca oleh Yiyis di perpustakaan.
"Semoga harimu menyenangkan. Tetap semangat belajar."
Farhan tidak mengira bahwa catatan kecil itu akan menjadi awal dari bencana besar dalam hidupnya di pesantren.
HUKUMAN YANG MEMALUKAN
Beberapa hari setelah kejadian itu, Farhan dipanggil oleh pengurus pondok. Wajah-wajah tegas para ustadz membuatnya langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Kamu tahu kenapa kami memanggilmu?” tanya Ustadz Rifqi, salah satu pengurus senior.
Farhan menundukkan kepala. Ia tidak bisa berbohong. “Saya tidak tahu, Ustadz.”
Salah satu ustadz lainnya meletakkan sebuah kertas di hadapan Farhan. Itu adalah catatan yang ia selipkan di kitab Yiyis.
“Pesan ini ditemukan di perpustakaan. Ini tulisanmu, kan?”
Farhan merasa seluruh tubuhnya melemas. Ia hanya bisa mengangguk pelan.
“Santri tidak boleh menjalin hubungan seperti ini. Apa kamu tahu hukuman bagi santri yang melanggar aturan pesantren?”
Farhan diam. Ia sudah mendengar cerita dari santri lain tentang hukuman bagi mereka yang ketahuan berhubungan dengan santri putri. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia sendiri akan mengalaminya.
Keesokan harinya, semua santri dikumpulkan di lapangan pesantren. Di hadapan mereka, Farhan duduk di sebuah kursi kecil, sementara seorang pengurus pesantren mencukur rambutnya hingga habis.
Gundul.
Namun, hukuman itu belum selesai. Setelah kepalanya dicukur, ia dikalungi sebuah kastrol—panci besar yang biasanya digunakan di dapur pesantren—lalu digiring keliling asrama. Para santri lain hanya bisa menahan tawa dan kasihan saat melihatnya.
“Lihat baik-baik! Ini hukuman bagi santri yang berani melanggar aturan!” seru salah satu pengurus pondok.
Farhan menundukkan kepala sepanjang perjalanan, menahan rasa malu yang membakar wajahnya. Ia tidak menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.
Di kejauhan, Yiyis hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak berani menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi dalam hatinya, ia merasa bersalah.
Sejak saat itu, hubungan mereka terputus.
Farhan kembali fokus belajar, berusaha menghindari masalah. Tetapi, perasaan yang pernah tumbuh di hatinya tak begitu saja hilang.
Dan ia tahu, kisah ini belum selesai.
BAB 3: PERPISAHAN DAN TEKAD BARU
Setelah hukuman itu, kehidupan Farhan di pesantren berubah. Ia menjadi bahan pembicaraan di kalangan santri. Beberapa menertawakannya, beberapa merasa kasihan, tetapi ada juga yang diam-diam mengaguminya karena berani menunjukkan perasaan, meskipun dengan cara yang salah.
Namun, yang paling menyakitkan bagi Farhan bukanlah rasa malu akibat digunduli atau dikalungi kastrol. Yang paling menyakitkan adalah jarak yang kini terbentuk antara dirinya dan Yiyis. Sejak kejadian itu, Yiyis tidak lagi berani menatapnya, bahkan sekadar berbicara pun tidak.
Suatu sore, saat sedang duduk di teras asrama, Zain menepuk bahunya.
“Kamu masih kepikiran Yiyis, ya?” tanyanya pelan.
Farhan hanya tersenyum pahit. “Aku sudah tahu dari awal kalau hubungan ini tidak mungkin.”
Zain menghela napas. “Tapi kamu tetap nekat.”
Farhan mengangguk. “Iya, dan aku sudah menerima akibatnya.”
Meskipun hatinya masih menyimpan rasa untuk Yiyis, Farhan sadar bahwa saat ini ia harus fokus pada masa depannya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan sukses. Bukan hanya untuk membuktikan diri kepada orang lain, tetapi juga untuk membanggakan ibunya dan adik-adiknya.
MENYUSUN RENCANA MASA DEPAN
Setelah lulus dari pesantren, Farhan tidak melanjutkan kuliah seperti santri lainnya. Ia sadar bahwa keluarganya tidak punya cukup uang untuk membiayai kuliahnya. Namun, ia tidak ingin menyerah begitu saja.
Ia mengikuti berbagai pelatihan yang tersedia di pesantren, seperti pertanian, bahasa Inggris, dan komputer. Ia juga mulai belajar bagaimana mengelola lahan pertanian dari beberapa petani senior di desanya.
“Kalau kamu mau sukses di pertanian, kamu harus paham tanah dan pasar,” kata Pak Rahman, seorang petani tua yang sering berbagi ilmu dengannya.
Farhan mengangguk. Ia mulai mempelajari metode pertanian modern dan cara menjual hasil panennya langsung ke pasar tanpa perantara. Dengan modal kecil, ia menyewa satu hektar lahan untuk ditanami cabai dan sayuran.
Sementara itu, Yiyis melanjutkan kuliah di jurusan kedokteran. Keluarganya yang kaya mendukung penuh pendidikannya. Mereka bahkan tidak tahu bahwa dulu Yiyis pernah menyimpan perasaan untuk seorang santri miskin di pesantren.
Meski mereka menjalani kehidupan yang berbeda, takdir seolah masih menyimpan kisah untuk mereka berdua.
BAB 4: PERJUANGAN SEORANG PETANI MUDA
Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, Farhan memulai langkahnya di dunia pertanian. Dengan modal yang sangat terbatas, ia menyewa satu hektar lahan di pinggiran desa. Lahan itu tandus dan kering, tetapi Farhan tidak menyerah.
Setiap pagi, ia berangkat lebih awal untuk mengolah tanah. Ia belajar dari petani senior dan mengikuti berbagai pelatihan pertanian modern. Dengan tekad dan kerja keras, ia mulai menanam cabai, tomat, dan sayuran lainnya.
Namun, jalan menuju kesuksesan tidaklah mudah. Suatu hari, setelah hampir tiga bulan menunggu panen pertama, hujan deras mengguyur ladangnya selama berhari-hari. Sebagian besar tanamannya rusak.
Farhan terduduk lemas di tepi ladang. Ia menatap hamparan tanaman yang hancur dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Allah, apa aku harus menyerah?” gumamnya.
Tapi ia teringat ibunya dan dua adiknya, Farah dan Fety. Mereka adalah alasan ia berjuang.
Dengan sisa modal yang ada, Farhan bangkit kembali. Ia belajar teknik irigasi yang lebih baik, menggunakan pupuk organik, dan mulai menjalin kerja sama dengan pemasok di kota. Lambat laun, hasil pertaniannya semakin membaik.
Lima tahun berlalu. Farhan kini bukan lagi petani pemula. Ia telah berhasil memperluas lahannya hingga 100 hektar. Ia tidak hanya menanam sendiri, tetapi juga memberdayakan petani di desanya.
Nama Farhan mulai dikenal sebagai petani muda yang sukses. Ia menjual hasil pertaniannya langsung ke pasar tradisional dan supermarket. Bisnisnya berkembang pesat, dan dalam waktu sepuluh tahun, ia telah menjadi seorang miliarder di bidang pertanian dengan lahan 1000 hektar.
Namun, di balik kesuksesan itu, ada satu hal yang masih tersimpan di hatinya: Yiyis.
PERTEMUAN KEMBALI DENGAN YIYIS
Suatu hari, di sebuah acara bakti sosial yang diadakan oleh NU di desanya, Farhan diundang sebagai pembicara. Acara itu juga dihadiri oleh para dokter muda yang melakukan pengobatan gratis untuk warga desa.
Saat ia berjalan di antara para tamu undangan, matanya menangkap sosok yang tak asing.
Yiyis.
Ia berdiri di dekat tenda pengobatan, mengenakan jas dokter. Ia terlihat lebih dewasa, lebih anggun, dan lebih berwibawa.
Farhan terdiam, tidak percaya bahwa ia akhirnya bertemu lagi dengan perempuan yang pernah mengisi hatinya di pesantren.
Yiyis juga melihatnya. Sejenak, mereka saling bertatapan. Ada keheningan di antara mereka, seolah-olah waktu berhenti.
“Farhan?” suara Yiyis terdengar pelan, nyaris bergetar.
Farhan tersenyum. “Yiyis. Lama tidak bertemu.”
Yiyis mengangguk. “Aku dengar… kamu sudah sukses.”
Farhan tertawa kecil. “Alhamdulillah, sedikit demi sedikit.”
Di hati mereka berdua, tersimpan kenangan lama yang belum benar-benar pudar. Namun, apakah mereka bisa bersama setelah bertahun-tahun terpisah?
Takdir masih menyimpan cerita untuk mereka.
BAB 5: CINTA YANG TERUJI
Pertemuan itu menjadi awal dari cerita baru antara Farhan dan Yiyis. Meski sudah bertahun-tahun terpisah, ada perasaan yang masih tersisa di hati mereka. Namun, Farhan tidak ingin gegabah. Ia tahu, untuk mendekati Yiyis, ia harus menghadapi satu rintangan besar: keluarga Yiyis.
Beberapa hari setelah pertemuan mereka di acara NU, Farhan memberanikan diri untuk menghubungi Yiyis.
"Assalamu'alaikum, Yiyis. Boleh kita bertemu?"
Butuh beberapa menit sebelum pesan itu dibalas.
"Wa'alaikumussalam. Boleh. Di mana?"
Mereka akhirnya bertemu di sebuah kafe di kota. Yiyis tampak anggun dengan hijabnya. Ia telah menjadi seorang dokter yang sukses, tetapi tetap rendah hati.
“Aku senang melihatmu sukses, Farhan,” kata Yiyis setelah mereka berbincang beberapa saat.
Farhan tersenyum. “Alhamdulillah. Aku hanya berusaha. Tapi… aku tidak akan membohongi diriku sendiri, Yiyis. Aku masih mencintaimu.”
Yiyis terdiam. Matanya sedikit berkaca-kaca.
“Aku juga, Farhan. Tapi kamu tahu bagaimana orang tuaku. Mereka tidak akan mudah menerima hubungan ini.”
Farhan mengangguk. Ia tahu, keluarga Yiyis adalah orang kaya yang selama ini kurang akrab dengan dunia pesantren dan NU. Bagaimana mungkin mereka menerima seorang petani, meskipun sukses?
Namun, Farhan tidak akan menyerah begitu saja.
MISI MENDAPATKAN RESTU
Farhan tahu bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan restu adalah dengan membuktikan dirinya. Ia mulai mendekati keluarga Yiyis secara perlahan.
Suatu hari, ia datang ke rumah Yiyis untuk bersilaturahmi. Ayah Yiyis, seorang pengusaha sukses, menatapnya dengan dingin.
“Kamu petani?” tanya ayah Yiyis.
“Iya, Pak,” jawab Farhan dengan bangga.
“Kenapa tidak kuliah? Kenapa memilih jadi petani?”
Farhan tersenyum. “Saya tidak kuliah bukan karena saya malas, Pak. Saya memilih bertani karena saya percaya bahwa pertanian adalah masa depan bangsa. Saya ingin memberdayakan masyarakat dan membangun ekonomi desa.”
Ayah Yiyis hanya mengangguk kecil, tetapi belum menunjukkan tanda-tanda setuju.
Selama berbulan-bulan, Farhan terus menunjukkan kesungguhannya. Ia sering mengajak keluarga Yiyis menghadiri acara NU, memperkenalkan mereka pada dunia yang selama ini asing bagi mereka. Perlahan, keluarga Yiyis mulai memahami bahwa NU bukan hanya sekadar organisasi, tetapi juga jalan hidup yang penuh keberkahan.
Lambat laun, hati mereka mulai luluh.
Hingga akhirnya, setelah perjuangan panjang, ayah Yiyis berkata, “Farhan, kalau kamu memang serius dengan anakku, buktikan bahwa kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab.”
Farhan tersenyum penuh keyakinan. “InsyaAllah, Pak. Saya akan membuktikannya.”
AKHIR YANG BAHAGIA
Beberapa bulan kemudian, pesta pernikahan besar digelar. Farhan dan Yiyis akhirnya resmi menjadi suami istri.
Setelah menikah, mereka dikaruniai tiga orang putri: Alin, Aliza, dan Alena. Farhan terus mengembangkan usahanya, hingga memiliki lahan pertanian seluas 1000 hektar.
Ia juga mendirikan cabang pesantren Hayatul Fata 2 atas restu gurunya. Kini, pesantren itu berkembang dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Yiyis tetap berkarier sebagai dokter, sementara Farhan aktif sebagai pengurus NU di desanya, dan Yiyis bergabung dengan Fatayat.
Tak lama kemudian, Farhan berangkat haji bersama istri, ibu, dan kedua orang tua Yiyis.
Ia juga membangun rumah mewah untuk ibunya sebagai tanda bakti.
Farah, adik pertamanya, sukses mendirikan rumah sakit. Fety, adik keduanya, sukses mendirikan mal.
Kini, Farhan tidak hanya seorang santri yang pernah dihukum dengan kastrol di lehernya. Ia telah menjadi seorang miliarder, pemimpin, dan kepala keluarga yang sukses.
Dan yang paling penting, ia telah mendapatkan cinta yang selama ini ia perjuangkan.
TAMAT.
Disklaimer: Cerita ini hanyalah fiktif belaka.
Posting Komentar