Di Indonesia, mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU) bertaqlid kepada mazhab Syafi’i dalam fikih. Hal ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi karena adanya faktor sejarah, budaya, dan kesinambungan keilmuan. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa mazhab Syafi’i menjadi pegangan mayoritas warga NU di Indonesia:
1. Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara
Islam yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-13 dibawa oleh para ulama dan pedagang dari Timur Tengah, terutama dari Hadramaut (Yaman) dan Gujarat (India). Kedua wilayah ini sejak lama dikenal sebagai pusat ajaran mazhab Syafi’i. Para ulama yang datang ke Nusantara mengajarkan Islam dengan mengikuti fikih Syafi’i, sehingga ajaran ini menjadi dominan di masyarakat.
2. Rujukan Keilmuan Pesantren Tradisional
Pesantren-pesantren tradisional, yang menjadi pusat pendidikan Islam di Indonesia, umumnya mengajarkan kitab-kitab fikih bermazhab Syafi’i. Beberapa kitab fikih yang diajarkan di pesantren NU antara lain:
- Fathul Qarib dan Fathul Mu'in
- Tuhfatul Muhtaj (karya Ibn Hajar al-Haitami)
- Mughni al-Muhtaj (karya Khatib al-Syarbini)
- Al-Umm (karya Imam Syafi’i)
Dengan sistem pendidikan yang berbasis mazhab Syafi’i, maka santri dan ulama NU secara turun-temurun berpegang pada mazhab ini.
3. Kesesuaian dengan Budaya dan Tradisi Lokal
Mazhab Syafi’i dikenal memiliki pendekatan fikih yang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan budaya setempat, selama tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini cocok dengan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak tradisi lokal, seperti:
- Tahlilan (doa bersama untuk orang yang meninggal)
- Yasinan (pembacaan Surah Yasin secara berjamaah)
- Maulid Nabi (peringatan kelahiran Nabi Muhammad)
Dalam mazhab Syafi’i, amalan-amalan ini diperbolehkan dan bahkan dianjurkan dalam beberapa kondisi. Hal ini membuat mazhab Syafi’i lebih mudah diterima oleh masyarakat NU yang memiliki tradisi keislaman yang kuat.
4. Peran Ulama Besar NU yang Bermazhab Syafi’i
Ulama-ulama besar NU sejak awal adalah pengikut mazhab Syafi’i, seperti:
- KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)
- KH. Wahab Hasbullah
- KH. Bisri Syansuri
Para ulama ini menanamkan ajaran fikih Syafi’i dalam organisasi NU, baik dalam pendidikan pesantren maupun dalam fatwa keagamaan yang mereka keluarkan.
5. Rujukan Keagamaan NU dalam Fikih
NU memiliki pedoman resmi dalam bermazhab yang disebut "Qanun Asasi NU", yang menegaskan bahwa dalam masalah fikih, NU berpegang pada mazhab Syafi’i. Bahkan dalam Munas NU 1984, ditegaskan kembali bahwa NU tetap mengikuti mazhab Syafi’i dalam fikih, Asy’ariyah-Maturidiyah dalam akidah, dan tasawuf Imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
6. Konsistensi dalam Bermazhab
NU dikenal dengan sikapnya yang konsisten dalam bertaqlid kepada mazhab Syafi’i. NU tidak mudah tergoda untuk mencampur-campur mazhab dalam beribadah (talfiq) tanpa kaidah yang jelas. Sikap ini membuat ajaran fikih Syafi’i tetap kuat di kalangan warga NU.
Kesimpulan
Mayoritas warga NU Indonesia bertaqlid kepada mazhab Syafi’i karena faktor sejarah, keilmuan pesantren, kesesuaian dengan budaya lokal, peran ulama NU, serta konsistensi organisasi dalam mempertahankan mazhab ini. Dengan mengikuti mazhab Syafi’i, NU memiliki pijakan fikih yang kokoh dan terjaga secara turun-temurun dalam masyarakat Indonesia.
Posting Komentar