Materi Kuliah Subuh Ramadhan Hari Keempatbelas

Tema: Sejarah Pensyari’atan Puasa Ramadhan Menurut Ulama NU

Mukadimah

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam serta kesempatan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas sejarah pensyari’atan puasa Ramadhan menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), lengkap dengan dalil dari Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning).


Dalil Kewajiban Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, setelah Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah ibadah baru dalam Islam, tetapi juga telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu.

Pensyari’atan puasa Ramadhan dilanjutkan dalam firman Allah SWT berikutnya:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa."
(QS. Al-Baqarah: 185)

Dari ayat ini, para ulama memahami bahwa puasa Ramadhan menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat, yaitu baligh, berakal, mampu, dan tidak memiliki uzur yang dibenarkan syariat.


Sejarah Pensyari’atan Puasa dalam Islam

1. Puasa Sebelum Islam

Dalam kitab Tafsir Al-Maraghi, Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan bahwa sebelum Islam, umat terdahulu juga telah mengenal puasa. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, puasa telah diwajibkan sebagai bentuk ibadah dan pengendalian diri.

Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menjelaskan bahwa:

"Puasa telah disyariatkan kepada umat-umat sebelum kita, tetapi dengan cara yang berbeda-beda."

Misalnya, Bani Israil berpuasa pada hari Asyura dan beberapa hari lainnya dalam setahun sebagai bentuk taubat kepada Allah.

2. Puasa pada Masa Awal Islam

Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah menjalankan puasa Asyura, sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُهُ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: "Hari Asyura (10 Muharram) adalah hari yang biasa dipuasai oleh orang Quraisy di masa jahiliyah, dan Rasulullah ﷺ juga berpuasa pada hari itu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau menemukan bahwa orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

نَحْنُ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
"Kita lebih berhak terhadap (ajaran) Musa daripada mereka." Maka Rasulullah ﷺ pun berpuasa dan memerintahkan (umat Islam) untuk berpuasa pada hari itu.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura menjadi sunnah dan bukan lagi kewajiban.

3. Tahapan Pensyari’atan Puasa Ramadhan

Ulama tafsir, termasuk Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, menjelaskan bahwa puasa Ramadhan diwajibkan secara bertahap, sebagaimana hukum khamr yang juga disyariatkan secara bertahap.

Tahap Pertama: Puasa Bersifat Pilihan

Pada awalnya, puasa Ramadhan belum diwajibkan secara mutlak. Umat Islam diberi pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Hal ini berdasarkan firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
"Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."
(QS. Al-Baqarah: 184)

Menurut Imam As-Suyuthi dalam Tafsir Al-Durr Al-Mantsur, ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mampu berpuasa boleh memilih antara puasa atau membayar fidyah.

Tahap Kedua: Puasa Wajib dengan Keringanan

Kemudian, Allah menurunkan ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan bagi seluruh Muslim, tetapi masih ada keringanan bagi yang tidak mampu:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"Barang siapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa."
(QS. Al-Baqarah: 185)

Namun, saat itu orang yang tidur sebelum berbuka puasa tidak boleh makan lagi sampai malam berikutnya.

Tahap Ketiga: Puasa Wajib dengan Rukhsah (Kemudahan)

Akhirnya, Allah memberikan kemudahan dalam aturan puasa. Jika seseorang tertidur sebelum berbuka, ia tetap boleh makan ketika terbangun, dan orang yang sakit atau dalam perjalanan diberi keringanan untuk tidak berpuasa dengan menggantinya di lain waktu.


Kesimpulan

Dari sejarah pensyari’atan puasa, kita memahami bahwa:

  1. Puasa telah ada sejak zaman dahulu dan juga dilakukan oleh umat terdahulu.
  2. Di awal Islam, puasa Asyura dianjurkan sebelum puasa Ramadhan diwajibkan.
  3. Puasa Ramadhan diwajibkan secara bertahap, dengan awalnya bersifat pilihan, lalu menjadi wajib dengan keringanan.
  4. Puasa Ramadhan menjadi kewajiban penuh pada tahun kedua Hijriyah dan terus diamalkan oleh umat Islam hingga sekarang.

Semoga kita semua dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan meraih ketakwaan sebagaimana tujuan utama pensyari’atan puasa. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.

Wallahu A'lam bish-shawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama