Siang itu, matahari terik menyengat. Di sudut kampung dekat Pesantren Fauzan, sebuah warung kopi ramai oleh suara obrolan dan kepulan asap rokok. Seorang pria bertubuh kekar dengan tato di lengannya duduk santai, menyeruput kopi hitam sambil mengisap rokok. Namanya Bang Rudi, preman yang dikenal galak dan jarang tersentuh nasihat agama.
Dari kejauhan, seorang santri bernama Ilham berjalan melewati warung itu. Pandangannya tertuju pada Bang Rudi yang terang-terangan tidak berpuasa. Hatinya tergerak. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan rasa kasih sayang.
Ilham masuk ke warung dan mendekati Bang Rudi. "Assalamu’alaikum, Bang," sapanya sopan.
Bang Rudi melirik sekilas. "Wa’alaikumussalam. Ada apa, Santri?" tanyanya dengan nada santai.
Ilham duduk di sampingnya, tersenyum. "Bang, boleh saya tanya sesuatu?"
Bang Rudi menghembuskan asap rokok. "Tanya aja."
Ilham menatapnya dengan mata penuh hormat. "Bang, boleh tahu kenapa nggak puasa hari ini? Apa Bang Rudi sedang sakit atau ada uzur lain?"
Bang Rudi terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Ah, gue sehat-sehat aja. Cuma... ya males aja. Udah kebiasaan begini."
Ilham tetap tersenyum. "Bang, dulu Umar bin Khattab juga seorang yang keras sebelum masuk Islam. Tapi ketika hidayah datang, beliau menjadi salah satu sahabat paling taat. Bang Rudi pasti juga bisa berubah."
Bang Rudi mengangkat alis. "Maksud lu, gue harus jadi kayak Umar?"
Ilham tertawa ringan. "Nggak harus persis kayak beliau, Bang. Tapi, Ramadhan ini kesempatan buat kita kembali mendekat ke Allah. Siapa tahu ini Ramadhan terakhir kita?"
Bang Rudi terdiam. Kata-kata Ilham menancap dalam. Selama ini, tak ada yang berani menegurnya dengan cara sehalus ini.
Ilham melanjutkan, "Puasa itu bukan cuma soal nahan lapar, Bang. Tapi bukti kalau kita tunduk sama Allah. Abang pasti kuat, cuma mungkin belum terbiasa."
Bang Rudi menarik napas panjang. Ia menatap gelas kopi di depannya, lalu menggesernya menjauh. "Lu bener, Dik. Gue selama ini terlalu nyaman sama kebiasaan buruk. Besok gue coba puasa."
Ilham tersenyum lebar. "MasyaAllah, Bang. Semoga Allah mudahkan."
Hari itu, di sebuah warung kopi, seorang santri dan seorang preman duduk berdampingan, berbicara tentang iman. Dan siapa sangka, Ramadhan tahun itu menjadi awal perubahan bagi Bang Rudi.
Posting Komentar