Di pesantren Fauzan, suasana Ramadhan begitu khusyuk. Para santri memperbanyak ibadah, tadarus, dan mengikuti kajian selepas subuh. Salah satu santri yang paling bersemangat adalah Fathur. Ia dikenal rajin dan selalu mengingatkan teman-temannya untuk beribadah dengan sungguh-sungguh.
Suatu siang, ketika Fathur berjalan menuju kelas, ia melihat seorang pekerja bangunan di pesantren duduk di bawah pohon mangga, memakan sebungkus nasi. Hati Fathur bergetar. “Bukankah ini bulan Ramadhan?” batinnya.
Ia mendekati pria itu dengan senyum. "Pak, Assalamu’alaikum," sapa Fathur dengan lembut.
"Walaikumussalam, Nak," jawab pria itu sambil sedikit kaget.
“Maaf Pak, saya hanya ingin bertanya. Apakah Bapak sedang sakit atau ada alasan tertentu hingga tidak berpuasa?” Fathur bertanya hati-hati, takut menyinggung.
Pria itu terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Jujur, Nak, saya sehat. Tapi saya merasa berat berpuasa. Kerja di bawah terik matahari membuat saya cepat lelah," jawabnya.
Fathur tersenyum bijak. "Pak, puasa memang berat, tapi Allah telah menjanjikan pahala yang besar. Nabi Muhammad ï·º dan para sahabat dulu juga bekerja keras saat berpuasa, bahkan mereka berperang dalam kondisi lapar. Jika mereka mampu, insyaAllah kita juga bisa."
Pria itu terdiam. Kata-kata Fathur menembus hatinya. Ia tak pernah berpikir sejauh itu.
“Bapak bisa mencoba bertahap, Pak. Jika terasa berat, kurangi aktivitas berat di siang hari. Dan yakinlah, Allah akan memberi kekuatan,” lanjut Fathur.
Pria itu mengangguk pelan. "Nak, terima kasih sudah mengingatkan saya dengan cara yang baik. Saya akan mencoba berpuasa besok."
Fathur tersenyum bahagia. Hari itu, ia merasa telah menjalankan salah satu tugasnya sebagai santri: menyebarkan kebaikan dengan hikmah. Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga menguatkan iman dan mengajak orang lain kepada ketaatan.
Posting Komentar