Sejak hari pertama, Yuki merasa kesulitan dengan hafalan. Jurumiyah yang harus ia kuasai dalam waktu sebulan terasa seperti gunung tinggi yang sulit didaki. Belum lagi tambahan tugas harian, mulai dari mengaji, membersihkan asrama, hingga mengikuti halaqah malam. Ada saat-saat di mana Yuki merasa ingin menyerah.
Namun, di saat lelah dan hampir putus asa, ada satu sosok yang selalu memberinya semangat—Ustadz Andri. Dengan kelembutannya, beliau membimbing setiap santri dengan sabar. “Menghafal itu bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling istiqomah,” kata Ustadz Andri suatu malam ketika melihat Yuki terdiam di serambi masjid.
Perlahan, Yuki mulai menemukan ritme belajarnya. Ia bangun lebih pagi untuk mengulang hafalan, mencatat setiap faidah dari kitab, dan berdiskusi dengan teman-temannya. Dukungan dari sahabatnya, Ilham dan Farid, juga menjadi penyemangat tersendiri. Bersama, mereka menghadapi ujian demi ujian, meski kadang harus menahan kantuk dan lelah.
Tahun demi tahun berlalu, hingga tibalah saat yang paling ditunggu: pengumuman santri teladan. Seluruh santri berkumpul di aula utama, hati mereka berdebar menanti hasil. Ketika nama Yuki disebut sebagai santri teladan, air mata haru menetes di pipinya. Semua perjuangan, begadang, dan keringat terbayar lunas.
Ustadz Andri tersenyum bangga. “Kamu bukan hanya santri yang cerdas, Yuki, tapi juga santri yang sabar dan pantang menyerah. Itulah yang membuatmu layak mendapat penghargaan ini.”
Kini, Yuki semakin yakin bahwa jalan ilmu adalah jalan yang penuh pengorbanan, tetapi juga dipenuhi berkah. Pesantren Fauzan bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah kedua yang telah membentuknya menjadi pribadi yang lebih baik.
Posting Komentar