Bagaimana Lafal yang Benar dalam Niat Puasa: Ramadhana atau Ramadhani?
Menjelang bulan suci Ramadhan, umat Islam semakin antusias dalam menyambutnya. Hal ini terlihat dari maraknya penyebaran pamflet berisi niat puasa Ramadhan di berbagai media. Namun, muncul pertanyaan mengenai pelafalan yang benar dalam niat puasa Ramadhan.
Sebagaimana ibadah lainnya, niat merupakan salah satu rukun dalam puasa Ramadhan yang harus dilakukan. Niat adalah tekad yang mantap dalam hati untuk berpuasa sejak terbit fajar. Imam Syafi'i berpendapat bahwa makan sahur tidak otomatis dianggap sebagai niat, kecuali jika dalam hati benar-benar terbersit keinginan untuk berpuasa (Al-Fiqh al-Islami, III, hlm. 1670-1678).
Meskipun niat adalah persoalan batin, melafalkannya (talaffudh) dapat membantu seseorang lebih meyakinkan niatnya. Ini karena pelafalan membuat niat lebih nyata dan konkret dalam bentuk bacaan. Dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam bacaan niat, khususnya pada kata رمضان (Ramadhan). Sebagian orang membacanya dengan ramadlâna (fathah), sementara yang lain dengan ramadlâni (kasrah).
Sebagian masyarakat membaca niat puasa dengan redaksi berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Menurut kaidah nahwu, bacaan tersebut kurang tepat. Jika menggunakan ramadlâna (fathah), maka kata setelahnya seharusnya berbentuk hâdzihis sanata sebagai keterangan waktu. Hal ini karena ramadlâna termasuk isim ghairu munsharif yang harus dibaca dengan fathah ketika tidak di-idhafah-kan. Namun, bentuk ini jarang ditemukan dalam kitab-kitab fiqih.
Yang lebih umum adalah membaca ramadlâni (kasrah) dengan meng-idhafah-kan (menghubungkan) kata Ramadhan dengan kata sesudahnya, yakni syahri. Dengan demikian, ramadlâni menjadi bagian dari konstruksi mudhaf-mudhaf ilaih, yang secara gramatikal lebih sesuai.
Hal ini sejalan dengan kaidah yang disampaikan oleh Ibnu Malik dalam Alfiyah:
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤ مَا لَمْ يُضَفْ اَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ
Artinya: Isim ghairu munsharif ditandai dengan fathah dalam keadaan jar, kecuali jika di-idhafah-kan atau diikuti oleh kata yang diawali "al".
Oleh karena itu, bacaan yang lebih tepat dan sesuai dengan tata bahasa Arab adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala.
Meskipun demikian, kesalahan dalam pelafalan niat tidak mempengaruhi keabsahan puasa, selama dalam hati telah ada tekad untuk berpuasa. Sebab, niat adalah persoalan batin, sedangkan pelafalan hanya bersifat pendukung. Namun, kesalahan dalam membaca niat bisa terdengar janggal, terutama bagi mereka yang memahami tata bahasa Arab.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar