KH Aceng Emad Muhammad: Ulama Pecinta Shalawat yang Hidupnya Dikaruniai Cinta Rasul

KH Aceng Emad Muhammad: Ulama Pecinta Shalawat yang Hidupnya Dikaruniai Cinta Rasul 
Di kalangan santri dan masyarakat Garut, nama KH Aceng Emad Muhammad bin KH Muhammad bin Syaikhul Masyaikh asy-Syekh KH Muhammad Umar Bashri harum dikenal sebagai sosok ulama yang teduh, bersahaja, namun menyala dengan cinta kepada Rasulullah ï·º. Hidup beliau seakan sepenuhnya diwarnai oleh shalawat — lantunan pujian kepada Nabi yang menjadi napas sehari-hari.

Sang adik, Aceng Aip Mukhtar Fauzi, pernah bercerita bahwa almarhum kakaknya itu hafal tak kurang dari empat ribu macam shalawat. Jumlah yang luar biasa, menunjukkan betapa dalam cinta beliau kepada Nabi Muhammad ï·º. Tidak banyak ulama yang memiliki hafalan sebanyak itu, dan KH Aceng Emad menjaganya dengan penuh ketekunan dan rasa rindu kepada Sang Kekasih Allah.

Kisah ini kembali dikenang pada acara peringatan 40 hari wafatnya KH Aceng Emad, diadakan di Pondok Pesantren Safinatul Faizin Fauzan II, Kampung Bendapari, Desa Najaten, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Sabtu (20/8/22). Dalam suasana haru dan doa, para santri serta keluarga mengingat kembali perjalanan hidup beliau — seorang ulama yang menghidupkan shalawat, dan hidupnya pun seolah menjadi shalawat itu sendiri.

Sang putra, Aceng Aad Muhammad, menuturkan bahwa ayahandanya selalu berdoa agar usianya tidak melebihi usia Rasulullah ï·º. Doa itu menjadi cermin kerendahan hati dan kecintaannya kepada Nabi. Dan benar saja, takdir Allah menjemput beliau di usia 63 tahun, usia yang sama dengan Rasulullah ï·º — seolah Allah mengabulkan keinginan seorang hamba yang ingin wafat dalam usia dan cinta yang serupa dengan Nabinya.

Namun, kisah KH Aceng Emad tidak berhenti pada hafalan. Semasa mudanya, beliau pernah diperintah oleh ayah sekaligus gurunya untuk mengarang shalawat sendiri. Saat itu sang guru menilai bahwa kecintaan Aceng Emad kepada Rasulullah belum sempurna jika belum mampu menulis pujian dengan tangannya sendiri.

“Ceng, da Aceng mah ges cekap ngarang shalawat. Lamun Aceng teu ngarang shalawat, kurang sampurna ka cintaan Aceng ka Kanjeng Rasul,”
ujar gurunya dengan penuh kasih.
(“Ceng, kamu sudah pantas membuat shalawat. Jika kamu tidak melakukannya, berarti cintamu kepada Kanjeng Rasul belum sempurna.”)

Kata-kata itu melekat kuat di hatinya. Sejak saat itu, KH Aceng Emad mulai menulis shalawat sebagai ungkapan rindu dan pengabdian kepada Nabi. Dari tangannya lahirlah beberapa karya, salah satunya yang paling dikenal hingga kini adalah Shalawat Munkhariqah — shalawat yang tidak hanya indah dalam lafadz, tapi juga lahir dari hati yang penuh cinta.

Hidup KH Aceng Emad adalah teladan tentang bagaimana cinta kepada Rasul diwujudkan dalam amal, bukan sekadar ucapan. Beliau tidak hanya bershalawat, tapi juga hidup di dalamnya. Dalam setiap langkah, beliau memantulkan akhlak Nabi: rendah hati, lembut dalam tutur, dan teguh dalam ketaatan.

Kini, sosok beliau telah berpulang, namun gema shalawatnya tidak pernah berhenti. Ia terus hidup di bibir para santri, di udara pesantren, dan di hati siapa pun yang pernah bersentuhan dengan ketulusan ilmunya.

KH Aceng Emad Muhammad telah kembali kepada Sang Kekasih, dalam usia dan cinta yang serupa dengan Rasulullah ï·º. Dan bagi para santri yang mengenangnya, satu pelajaran paling berharga tertinggal:
cinta sejati kepada Nabi bukan sekadar diucapkan — ia harus dihidupkan.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama