Nusyuz Suami
Menyoal Indikator Keadilan
Selama ini, masyarakat secara umum memahami bahwa nusyuz adalah istilah yang hanya disandangkan kepada istri.
Seorang istri dianggap nusyuz apabila ia tidak menaati suaminya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun, dalam kajian fiqih lintas mazhab, nusyuz juga dapat terjadi pada suami. Artinya, baik suami maupun istri memiliki kemungkinan untuk melakukan nusyuz.
Para ulama fiqih dari berbagai mazhab telah menjelaskan hal ini secara jelas dalam banyak kitab fiqih.
Perbedaan utama antara nusyuz suami dan nusyuz istri terletak pada bentuk ketidaktaatan yang dilakukan.
- Nusyuz istri terjadi ketika ia tidak menaati suaminya sebagai pemimpin rumah tangga.
- Nusyuz suami terjadi ketika ia tidak menunaikan kewajibannya sebagai suami atau mengabaikan hak-hak istrinya.
Ketentuan ini semakin dikuatkan oleh keputusan Bahtsul Masail yang diselenggarakan oleh LBM NU Garut dalam Konfercab pada Februari 2025.
Banyak pihak yang menyambut baik keputusan ini karena dianggap sebagai langkah maju NU Garut dalam melindungi hak-hak perempuan.
Sebagian orang menganggap keputusan ini sebagai bentuk keadilan karena adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Namun, ada satu hal penting yang perlu ditegaskan, yaitu bahwa dalam memahami teks-teks keagamaan, kesetaraan dan keadilan bukanlah hal yang sama.
Kesetaraan tidak selalu berarti keadilan. Kesetaraan hanyalah salah satu bentuk keadilan, tetapi bukan satu-satunya. Bahkan, dalam beberapa kasus, kesetaraan bisa berujung pada ketidakadilan.
Kesimpulan ini merujuk pada makna kata “adil” itu sendiri. Karena konsep keadilan berasal dari Al-Qur'an dan Hadis, maka pemaknaannya harus merujuk pada penggunaan dalam kedua sumber tersebut (gholabatul isti'mal).
Para ulama mendefinisikan adil sebagai:
وَضْعُ شَيْءٍ فِي مَوْضِعِهِ
(Menempatkan sesuatu pada tempatnya yang semestinya).
Jika suatu kesetaraan tidak berada di tempat yang semestinya, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai keadilan.
Dalam sepak bola, menyamakan posisi bek dengan striker bukanlah sesuatu yang adil, karena masing-masing memiliki tugas yang berbeda.
Penentuan posisi yang benar dalam kehidupan bukan berdasarkan pandangan manusia, tetapi berdasarkan wahyu.
Pandangan manusia sering kali subjektif dan berbeda satu sama lain. Apa yang dianggap benar oleh seseorang, bisa jadi dianggap keliru oleh orang lain. Jika kebenaran hanya ditentukan oleh persepsi manusia, maka akan muncul keraguan, ketidakpastian, dan bahkan tragedi, sebagaimana yang sering terjadi dalam peradaban Barat.
Hubungan antara keadilan dan kesetaraan dapat dikatakan sebagai umum khusus min wajhin, yang berarti keduanya bisa beriringan dalam satu konteks, tetapi bisa juga terpisah dalam konteks lain.
Keduanya tidak memiliki hubungan talazum (la yaqbalul infikak / لا يقبل الانفكاك), artinya keadilan tidak selalu harus disertai kesetaraan.
Contoh di mana keadilan dan kesetaraan berjalan seiring dalam Islam adalah:
- Kesetaraan dalam nusyuz
- Kesamaan kewajiban dalam mu'asyarah bil ma'ruf (hubungan suami istri yang baik)
Namun, ada juga contoh di mana keadilan tidak identik dengan kesetaraan, seperti:
- Kewajiban suami memberi mahar dan nafkah, sedangkan istri hanya sebagai penerima manfaat.
- Pembagian warisan, di mana anak laki-laki mendapat dua bagian dibanding anak perempuan.
- Hak talak yang hanya dimiliki suami, meskipun istri dapat mengajukan gugatan cerai.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa keadilan tidak selalu berarti kesetaraan, karena dalam Islam, pemberian hak bukanlah sebuah privilege, melainkan sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Hak yang diberikan dalam Islam selalu disertai dengan kewajiban dan tanggung jawab. Penggunaan hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban hanya akan menjadi alat untuk menuruti hawa nafsu, seperti yang sering terjadi dalam konsep HAM dan kebebasan di peradaban Barat.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar