Jalan Berduri Menuju Cahaya

"Jalan Berduri Menuju Cahaya"


Hujan turun membasahi tanah di pelosok desa kecil tempat Sulaiman dilahirkan. Ia anak yatim, hidup bersama ibunya yang bekerja sebagai penjual kue di pasar. Meskipun hidup dalam kesulitan, Sulaiman memiliki impian besar: menjadi seorang ulama besar yang bermanfaat bagi umat.

Sejak kecil, ia belajar Al-Qur'an dari seorang ustadz tua di surau dekat rumahnya. Namun, keterbatasan ekonomi membuatnya sulit melanjutkan ke jenjang ilmu yang lebih tinggi. Ibunya selalu berkata, "Nak, ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang malas dan putus asa."

Merantau Mencari Ilmu

Saat usianya menginjak 14 tahun, Sulaiman memutuskan merantau ke kota untuk menuntut ilmu di madrasah terkenal. Dengan bekal uang seadanya dari ibunya, ia berjalan kaki selama berhari-hari. Rasa lapar dan letih menjadi teman setianya.

Setibanya di kota, ia menghadap seorang ulama besar, Syekh Umar Al-Bantani, meminta izin menjadi murid. Namun, Syekh menatapnya penuh keraguan. "Ilmu ini mahal, Nak. Tidak cukup hanya dengan semangat, tapi juga pengorbanan," katanya.

Tak punya biaya, Sulaiman bekerja sebagai tukang sapu di madrasah. Siang ia belajar, malam ia bekerja keras untuk mendapatkan makanan sekadarnya.

Ujian dan Pengorbanan

Tahun-tahun berlalu, ujian semakin berat. Rasa lapar sering menghambat fokusnya. Pernah suatu ketika, ia menemukan sepotong roti jatuh di jalan. Dengan penuh rasa bersalah, ia memungutnya lalu memakannya. Namun, hatinya bergetar—apakah ini halal?

Esoknya, ia mendatangi seorang pedagang yang sering berjualan di sana. "Tuan, kemarin saya menemukan roti jatuh di jalan ini. Apakah milik Anda?"

Pedagang itu tertawa, "Kalau pun itu milikku, aku sudah merelakannya. Tapi aku kagum pada kejujuranmu. Mulai sekarang, kau boleh mengambil sisa rotiku setiap hari."

Itulah salah satu ujian yang mengajarkannya bahwa ilmu harus disertai dengan ketakwaan.

Diusir dan Pahitnya Perjuangan

Suatu hari, terjadi fitnah. Beberapa santri iri pada kecerdasan Sulaiman dan menuduhnya mencuri kitab langka. Syekh Umar terpengaruh dan mengusirnya dari madrasah.

Dengan hati hancur, Sulaiman meninggalkan tempat itu. Namun, ia tidak menyerah. Ia berjalan ke negeri lain, belajar dari ulama-ulama berbeda, hingga akhirnya menguasai berbagai ilmu—fiqh, hadits, tafsir, bahkan ilmu hikmah.

Bertahun-tahun kemudian, namanya dikenal sebagai ulama besar. Ia kembali ke madrasah tempat dulu ia diusir. Syekh Umar yang sudah renta menangis dan meminta maaf, "Kini aku tahu, engkaulah cahaya yang pernah aku abaikan."

Sulaiman tersenyum, lalu berkata, "Tidak ada ilmu tanpa ujian, tidak ada kemuliaan tanpa pengorbanan."

Dan sejak saat itu, ia mengabdikan hidupnya untuk mengajarkan ilmu kepada siapa pun, terutama mereka yang bernasib sama dengannya—yatim, miskin, tapi memiliki impian besar.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama