Puasa: Syariat dalam Melindungi AkalHifdzul Aqli

Puasa: Syariat dalam Melindungi Akal
Hifdzul Aqli
Puasa memiliki banyak makna bagi seorang Muslim, yang pada akhirnya bertujuan membentuk pribadi yang bertakwa.

Dalam perspektif maqashid syariah, puasa merupakan salah satu cara syariat menjaga akal manusia, atau dikenal sebagai hifdzul aql. Para ulama sepakat bahwa syariat Islam hadir untuk membawa kemaslahatan (mashlahah) bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Menurut Ibn Abdissalam dalam Qawa'idul Ahkam, kemaslahatan manusia meliputi kenikmatan jasmani (laddzah) dan kebahagiaan jiwa (al-farah), yaitu ketika tubuh dan jiwa menemukan keselarasan dengan hal-hal yang sesuai secara alami.

Kemaslahatan manusia mencakup aspek fisik dan spiritual. Dalam Islam, jiwa memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur kehidupan manusia. Ketentraman jiwa akan berdampak pada kesehatan fisik, namun kesehatan fisik saja tidak menjamin ketenangan jiwa. Kenikmatan fisik dapat berupa makanan lezat, tubuh yang sehat, pakaian yang menarik, atau pasangan hidup yang ideal. Sementara itu, kebahagiaan jiwa meliputi menemukan kebenaran, menyadari keterbatasan diri, memperoleh ilmu, beriman kepada Allah, hingga mencapai tingkatan ihsan.

Dalam konsep mashlahah, terdapat tiga tingkatan utama: dharuriyyah (kebutuhan primer), hajiyyah (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyah (penyempurna). Yang paling utama adalah dharuriyyah, yang mencakup lima aspek fundamental (kulliyyatul khoms), yaitu:

Perlindungan agama Perlindungan jiwa Perlindungan akal Perlindungan harta Perlindungan keturunan 

Menjaga akal berarti memastikan akal tetap dalam kondisi ideal, yaitu mampu mengenali Allah dan kebenaran. Namun, dalam perjalanannya, akal sering kali terhambat oleh berbagai tantangan, terutama hawa nafsu dan godaan setan. Di antara keduanya, hawa nafsu adalah musuh terbesar manusia.

Ketika akal dikuasai oleh hawa nafsu, kemampuannya untuk membedakan kebenaran menjadi lemah. Kondisi ideal manusia adalah ketika akal mampu sepenuhnya mengendalikan hawa nafsu, bukan sebaliknya.

Islam menawarkan berbagai cara untuk mengembalikan akal pada kondisi optimalnya. Salah satunya adalah dengan berpuasa, yakni menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri, serta menjauhi segala bentuk maksiat.

Semakin banyak makanan yang dikonsumsi, semakin kuat pula energi hawa nafsu. Sebaliknya, dengan mengurangi asupan makanan, hawa nafsu menjadi lebih lemah. Oleh karena itu, Islam mewajibkan puasa di bulan Ramadan dan menganjurkan puasa sunnah sebagai sarana memperkuat kendali akal atas nafsu.

Puasa menegaskan kembali peran akal sebagai pemimpin dalam kehidupan manusia. Seseorang yang bertakwa adalah ia yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Keberhasilan manusia dalam hidup sangat bergantung pada sejauh mana ia berhasil menjalankan puasa dengan baik, terutama dalam menahan hawa nafsu makan.

Wallahu a'lam.


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama